Selasa, 05 November 2013

Candi Arjuna dan Museum Kaliasa ( kedamaian dan kemesteriusan istana siwa berkepala tiga )

















Kompleks Candi Arjuna memberikan nuansa lain daripada sekedar tempat persembahyangan umat Hindu pada masa lalu. Sedikitnya relief dan prasasti yang mengungkap tentang latar belakang candi ini menjadikannya sebagai salah satu candi paling misterius di Asia

CANDI ARJUNA
Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara

Kekayaan budaya peninggalan kejayaan masa lalu tersebar di setiap penjuru nusantara. Salah satunya adalah kompleks Candi Arjuna yang merupakan salah satu candi tertua di Jawa. Di dalam kompleks ini hanya tinggal 5 candi berusia lebih dari seribu tahun yang masih berdiri dengan kokohnya. Di sore yang cukup dingin itu kompleks candi cukup ramai dengan pengunjung. Wisatawan dari dalam maupun luar negeri berkeliling untuk melihat dari lebih dekat bentuk dan bangunan candi. Suasana terasa santai dan damai. Sekelompok anak muda memanfaatkan tanah lapang di sebelah kanan candi untuk bermain sepak bola.

Kompleks candi ini pertama kali ditemukan oleh seorang tentara Inggris bernama Van Kinsbergen pada tahun 1814. Berbeda dengan candi-candi lain yang sebagian besar ditemukan terpendam di dalam tanah, candi-candi di dataran tinggi Dieng ini pada waktu itu terendam air rawa-rawa. Proses pengeringan dimulai lebih dari 40 tahun kemudian. Entah siapa yang memberi ide, candi-candi ini kemudian diberi nama sesuai dengan nama-nama tokoh pewayangan oleh penduduk sekitar. Candi utamanya adalah Candi Arjuna, yang berhadapan dengan candi berbentuk memanjang dengan atap limasan yang sering disebut sebagai Candi Semar.

Di sebelah kirinya berdiri berjajar Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Puntadewa memiliki bentuk yang hampir mirip dengan Candi Arjuna, sementara Candi Srikandi dan Candi Sembadra sedikit lebih kecil dan pendek. Berdasarkan cerita penduduk sekitar, Candi Puntadewa berada di tengah-tengah Srikandi dan Sembadra sebagai penengah bagi kedua kakak beradik yang sama-sama menjadi istri dari Arjuna tersebut.

Indahnya taman dengan pohon-pohon cemara dan bunga-bunga di sekeliling kompleks candi menghadirkan nuansa keindahan di tengah kedamaian dan keheningan suasana. Di kejauhan nampak asap putih yang mengepul tiada henti dari kawah-kawah vulkanik yang banyak terdapat di Dieng. Perbukitan dan pegunungan yang mengelilingi menambah kesan damai di hati. Banyak muda-mudi yang memanfaatkan keindahan dan keheningan kompleks candi ini untuk berduaan dengan pasangannya. Berjalan perlahan di tanah berumput yang mengelilingi candi sambil mengagumi keelokan alam ciptaan Tuhan dan menghirup udara segar yang hampir tidak mungkin ditemukan di tengah perkotaan. Tanah berumput itu terasa empuk dan membal. Ternyata benar. Karena dulunya merupakan tanah rawa-rawa maka kandungan air dibawah tanah di sekeliling candi masih cukup tinggi. Sebagai akibatnya, berjalan di atas tanah itu akan terasa seolah berjalan di atas busa.

Trimurti di Candi Srikandi

Kompleks Candi Arjuna merupakan candi hindu tertua di Pulau Jawa yang diperkirakan dibangun pada tahun 809 M dan merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa. Hal ini terlihat dari adanya Lingga dan Yoni di dalam candi utama, serta arca Dewi Durga, Ganesha, dan Agastya di relung-relung bangunannya. Namun arca-arca ini sekarang ditempatkan di dalam Museum Kaliasa, tidak jauh dari bangunan candi. Secara arsitektur, Candi Arjuna masih dipengaruhi oleh budaya India yang sangat kental. Bentuknya mirip dengan candi di India selatan yang disebut Wimana. Sementara itu Candi Semar kemungkinan besar mengambil bentuk mandapa, yang menjadi bagian dari candi di India, sebagai tempat untuk para peziarah dan festival.

Tidak banyak relief yang ditemukan di kompleks candi ini. Hanya ada relief yang menggambarkan ketiga Dewa Trimurti yaitu Siwa, Wisnu dan Brahma, yang semakin memperkuat bukti bahwa candi ini adalah candi Hindu. Namun anehnya, relief ini tidak dipahatkan pada candi utama. Penggambaran ketiga dewa ini terdapat pada dinding-dinding Candi Srikandi. Sementara dinding candi-candi lainnya nampak polos. Tidak ada satupun dari 12 prasasti yang ditemukan menjelaskan mengenai hal ini. Hanya ada hiasan Kala di pintu masuk candi serta relung tempat arca-arca disemayamkan.

Siwa Berkepala Tiga di Kaliasa

Puas menikmati keindahan dan kedamaian Candi Arjuna, melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak yang menuju kearah barat daya. Kurang lebih 10 menit berjalan kaki, sampailah di pelataran sebuah candi kecil yang sering disebut dengan Candi Gatotkaca. Deretan toko dan warung berdiri berjajar di dekatnya, menyediakan berbagai souvenir maupun makanan dan minuman khas Dieng.

Di seberang jalan, di lereng bukit berdiri sebuah museum bernama Museum Kaliasa. Terdapat 4 bangunan dimana dua duantaranya difungsikan sebagai ruang pamer berbagai macam benda dan artefak peninggalan sejarah. Kebanyakan barang yang dipamerkan adalah arca-arca dan batu-batu dari kompleks candi-candi yang ada di Dieng. Yang paling menarik adalah adanya arca Siwa berkepala tiga yang sering disebut dengan Siwa Trisirah. Siwa Trisirah diketahui merupakan bentuk pemujaan terhadap Siwa yang tertua. Selain itu museum ini juga memajang berbagai informasi mengenai kehidupan khas masyarakat asli Dieng, kesenian tradisionalnya, serta informasi mengenai anak gimbal yang fenomenal itu. Juga terdapat sebuah ruang teater untuk memutar film dokumenter mengenai Dieng dan potensi alam maupun budayanya untuk pengunjung yang berjumlah minimal 10 orang.

Keluar dari ruangan museum, berjalan menaiki anak tangga batu menuju ke bangunan yang terletak paling tinggi. Ternyata bangunan ini berfungsi sebagai kafe. Sembari melepas lelah setelah mengelilingi candi dan museum, duduk di dalam kafe sambil menghirup minuman panas dan menikmati pemandangan Dataran Tinggi Dieng yang mempesona dari jendela sungguh sayang untuk dilewatkan.bagai kafe. Sembari melepas lelah setelah mengelilingi candi dan museum, duduk di dalam kafe sambil menghirup minuman panas dan menikmati pemandangan Dataran Tinggi Dieng yang mempesona dari jendela sungguh sayang untuk dilewatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar